Sabtu, 06 November 2010

PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI

Apakah kehebatan penciptaan langit dan bumi ini sehingga Rasulullah menangisinya? Kenapa Allah memancing kita untuk mengamati dan memahami penciptaan langit dan bumi? Dan pernahkah kita terpancing untuk melakukannya? Kalau tidak, sungguh sayang sekali...

Sebenarnya Allah sedang memberikan jalan Yang luas dan lebar kepada hambaNya Yang ingin memahami dan berkenalan dengan Allah Sang Maha Pencipta. Bukankah Allah mengatakan, kalau kita ingin mengenali Allah, maka kenalilah ciptaanNya. Dan, ciptaan Allah yang bernama Langit dan Bumi ini ternyata sangatlah dahsyat, sehingga bisa menghantarkan kita untuk 'bertemu' dan menghayati Kebesaran Allah.

Bagaimana cara kita memahami proses penciptaan langit dan bumi itu. Bisakah hanya berdasarkan informasi-informasi dari Al Quran saja? Agaknya tidak bisa. Setidak-tidaknya kurang memuaskan. Mau tidak mau, kita harus melakukan pengamatan-pengamatan yang lebih mendalam tentang fakta yang tersebar di alam semesta ini. Harus bersifat empirik.

Namun, tidak semua kita memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian ilmiah. Maka kita boleh membaca data-data dan analisis ilmu pengetahuan Astronomi yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan agar bisa memahaminya. Semua data itu bisa diuji dan dibuktikan, meskipun pada gilirannya nanti tetap ada bagian-bagian yang harus disempurnakan secara ilmiah oleh generasi berikutnya. Tidak apa apa. Tidak menjadi masalah.

Akan tetapi, sebelum membahas tentang penciptaan langit dan bumi, terlebih dahulu saya ingin mengajak pembaca untuk memahami posisi kita di alam semesta yang sangat luas ini.

Seperti kita ketahui, lebih dari 5 miliar manusia hidup di sebuah planet yang bernama Bumi. Bentuknya hampir bulat. Agak pipih di bagian atas yang disebut sebagai Kutub Utara dan juga bagian bawah yang disebut Kutub Selatan. Bumi yang kita tumpangi bersama ini berputar kencang pada dirinya sendiri, dengan kecepatan sekitar 1.669 km per jam, di Equatornya. Namun kita tidak merasakannya, karena kita ikut berputar dalam sebuah kendaraan 'Bumi' yang sangat besar. Kita, bagaikan sedang berada di dalam sebuah pesawat angkasa luar yang berpusing.

Selain itu, Bumi juga mengitari matahari pada jarak sekitar 150 juta km, dengan kecepatan lebih dari 107.000 km per jam. Artinya, kendaraan angkasa luar kita yang bernama 'Bumi' ini sedang melaju, melesat mengembara di angkasa mengitari matahari.

Apa Yang menggerakkan bumi kita ini sehingga terus-menerus bergerak berputar pada dirinya sendiri, sekaligus mengitari matahari? Ternyata, ada sebuah gaya tarik yang sangat dahsyat yang terjadi antara matahari dan bumi, serta benda-benda langit lainnya. Mereka seperti terikat oleh sebuah tali yang tidak tampak, yang diputar-putar melingkar terpusat pada matahari. Pusatnya matahari, di sekelilingnya ada 9 planet, yaitu : Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Semuanya mengelilingi Matahari, sebagaimana Bumi.
QS. Luqman (31) : 10
“Dia telah menciptakan langit tanpa tiang sebagaimana kalian lihat, dan dia meletakkan gunung-gunung di bumi supaya bumi tidak Meng-guncangkan kamu dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”

Di planet Merkurius, yang paling dekat dengan Matahari tidak terdapat kehidupan, karena permukaan planetnya demikian panasnya. Bagaikan membara. Sedangkan di Pluto, yang terjauh dari Bumi, juga tidak terdapat kehidupan karena seluruh permukaan planetnya membeku, tertutup oleh es. Namun demikian, di planet-planet selain Bumi juga belum diketemukan kehidupan secara pasti. Apalagi manusia. Hanya di Bumi inilah makhluk yang bernama manusia ini bisa melangsungkan kehidupannya dengan baik. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan Matahari sebagai sumber energi kehidupan.

Kelompok 9 planet yang berpusatkan Matahari itu dinamakan Tatasurya. Ternyata, tatasurya kita ini bukanlah satu satunya tatasurya di alam. semesta. Ada miliaran, bahkan triliunan tatasurya yang terserak di jagad semesta.

Kalau kita ingin mengetahui lebih lanjut, cobalah keluar rumah malam hari. Di tempat yang terbuka dan sedikit gelap arahkan pandangan ke langit. Kalau langit sedang cerah, kita akan bisa melihat bintang-bintang bertaburan di angkasa raya.

Pernahkah kita bayangkan bahwa bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari, seperti matahari yang kita miliki di tatasurya kita. Karena begitu jauhnya jarak Matahari, itu dengan Bumi kita, maka ia kelihatan sangat kecil dan berkedip-kedip. Tapi, sesungguhnya bintang itu adalah matahari. Bahkan banyak yang ukurannya jauh lebih besar dari matahari kita.

Matahari Yang kita miliki ini, diameternya sekitar 200 kali bumi. Isinya adalah gas Hidrogen yang sedang bereaksi secara termonuklir menjadi gas Helium. Sedangkan bintang-bintang itu ada yang besarnya berpuluh kali atau beratus kali dibandingkan dengan besarnya matahari kita. Yang paling besar diketemukan oleh ilmuwan Astronomi adalah bintang Mu-cepe, yaitu sekitar 1.500 kali matahari, alias ratusan ribu kali besarnya bumi yang kita diami!

Begitu besar ukurannya. Tetapi kelihatan demikian kecilnya. Ya, semua itu karena jarak bintang-bintang itu sangat jauh dari bumi. Berapakah jarak bintang yang paling dekat dengan bumi? Informasi Astronomi mengatakan, jaraknya sekitar 8 tahun cahaya. Apakah artinya? Artinya, cahaya saja membutuhkan waktu tempuh 8 tahun untuk menuju bintang yang paling dekat itu. Jadi berapa kilometer ? Tinggal hitung saja.

Kecepatan cahaya adalah 300.000 km per detik. Jadi kalau cahaya membutuhkan waktu 8 tahun untuk sampai ke bintang itu, berarti jaraknya adalah 8 th x 365 hari x 24 jam x 60 menit x 60 detik x 300.000 km = 75.686.400.000.000 km atau sekitar 75 triliun kilometer. Sungguh jarak yang tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan kita!

Bisakah kita pergi ke sana? Di atas kertas, mungkin saja. Tetapi, memakan waktu berapa lama? Marilah kita hitung. Semuanya bergantung pesawat yang kita gunakan. Andaikan saja kita naik pesawat, ulang alik seperti Challenger atau Columbia Ya berkecepatan 20 ribu km per jam. Berapa lama kita akan sampai di bintang tersebut?

Sehari, sebulan, setahun, sepuluh tahun, seratus tahun. Kita mati di tengah jalan, ternyata kita belum sampai di bintang yang paling dekat itu. Setelah 428 tahun kemudian, barulah kita sampai di sana. Kita membutuhkan 5 - 6 generasi untuk sampai di sana. Subbanallaah...

Padahal, tadi saya katakan, jumlah bintang di alam semesta ini triliunan. Setiap 100 miliar bintang membentuk gugusan yang disebut galaksi. Gugusan bintang yang kita tempati ini bernama galaksi Bimasakti. Di sebelah Bimasakti ada galaksi Andromeda, dan seterusnya, ada miliaran galaksi di jagad semesta ini. Dan, yang lebih dahsyat lagi, setiap 100 miliar galaksi membentuk gugusan galaksi yang disebut Superkluster. Dan seterusnya, jagad semesta ini belum diketahui batasnya.

Berapakah jarak gugusan bintang bintang itu? Bermacam macam. Ada yang berjarak 100 tahun cahaya. Artinya cahaya saja membutuhkan waktu 100 tahun. Ada yang 1000 tahun cahaya. Ada juga yang 1 juta tahun cahaya. Dan yang paling jauh, diketemukan oleh ilmuwan Jepang, berjarak 10 miliar tahun cahaya.

Ya, cahaya saja membutuhkan waktu 10 miliar tahun. Apalagi kita. Usia kita tidak ada artinya apa-apa dibandingkan kebesaran alam semesta ini.

Bahkan planet bumi yang kita tinggali bersama miliaran manusia ini juga tidak ada apa-apanya. Bumi bagaikan sebuah debu di hamparan Jagad ‘Padang Pasir’ Semesta. Di atas bumi yang bagaikan debu itulah miliaran manusia hidup dengan segala aktifitas dan kesombongannya! Masya Allah, sungguh begitu kecil kita, dan luar biasa dahsyat Sang Maha Perkasa...

Lantas bagaimana kita membayangkan Keperkasaan Allah yang menciptakan hamparan jagad semesta itu? Disinilah Allah memperkenalkan Dirinya lewat ciptaanNya yang benama Langit dan Bumi. Dan kita dipancingNya untuk memahami itu lewat firmanNya di QS. Ali Imran 190 191.

Ada lagi yang sangat unik ketika kita mengamati bintang bintang di angkasa. Sebagaimana telah saya sampaikan di muka, bahwa bintang-bintang yang bertaburan itu jaraknya sangat beragam, mulai dari matahari yang jaraknya 8 menit cahaya, bintang yang berjarak 8 tahun cahaya, sampai yang berjarak 10 miliar tahun cahaya.

Pernahkah Anda bayangkan, bahwa matahari yang kita lihat setiap pagi itu adalah matahari 8 menit yang lalu? Bukan matahari yang sekarang! Kenapa demikian? Ya, karena sinar matahari memerlukan waktu 8 menit untuk mencapai bumi, yang berjarak 150 juta km dari matahari. Berarti, matahari yang kita lihat pada saat itu adalah matahari 8 menit yang lalu! Aneh bukan?

Begitu juga ketika kita melihat kepada bintang yang berjarak 8 tahun cahaya. Bintang yang sedang kita amati itu bukanlah bintang saat ini, melainkan bintang pada saat 8 tahun yang lalu. Karena, sinar yang sampai di mata kita itu adalah sinar yang sudah melakukan perjalanan sejauh 8 tahun cahaya. Bukankah sinar butuh waktu untuk menempuh jarak?

Tidak berbeda dengan bintang-bintang yang berjarak lebih jauh lagi. Kalau kita sedang mengamati bintang berjarak 100 juta tahun cahaya, maka sebenarnya bintang yang sedang kita amati itu adalah kondisi 100 juta tahun yang lalu!

Jadi, kalau malam-malam kita sedang mengamati langit, sebenarnya kita bukan melihat langit yang sekarang saja. Tetapi pada saat yang bersamaan sedang melihat langit sekarang, langit 1000 tahun yang lalu, langit 1 juta tahun yang lalu, dan bahkan langit 10 Miliar tahun yang lalu ... ! Masya Allah, kita jadi merasa aneh dengan alam kita sendiri.

Lebih jauh, kalau kita ingin memahami kedahsyatan ciptaan Allah di alam semesta, marilah kita baca ayat berikut ini.

QS. Al Anbiyaa 30,
“Apakah orang-orang kafir itu tidak tahu bahwa langit dan bumi itu dulunya padu, lalu Kami pisahkan keduanya dengan kekuatan, dan Kami jadikan dari air setiap yang hidup, apakah mereka tidak percaya?”

Ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa alam semesta yang luar biasa besarnya itu dulunya satu, alias berimpit. Dikatakan bahwa langit yang berupa ruang angkasa dan bumi itu pernah tidak terpisahkan. Lantas, pada suatu ketika Allah memisahkan keduanya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Sehingga jadilah alam semesta seperti yang kita lihat sekarang.

Tetapi, sekali lagi, pemahaman yang baik baru bisa kita peroleh kalau kita melakukan pengamatan terhadap alam semesta dalam kegiatan empiris atau ilmu pengetahuan. Baik secara langsung maupun lewat informasi Astronomi.

Bagaimana mungkin kita bisa memahami bahwa langit dan bumi itu dulunya padu, kalau kita tidak mempelajari ilmu Astronomi. Firman Allah ini ternyata memang bisa kita pahami setelah kita membaca teori Big Bang alias teori ‘Ledakan Besar’.

Dalam teori tentang penciptaan alam semesta itu dikatakan bahwa langit dan bumi itu memang dulunya padu. Bagaimana kesimpulan itu diperoleh? Ternyata, dalam pengamatan teleskop Hubble, diketahui bahwa berbagai benda langit seperti planet, matahari, dan bintang-bintang semuanya sedang bergerak menjauh.

Kita melihat ke atas, benda-benda langit menjauh. Melihat ke ‘bawah’ di balik bumi benda-benda langit tersebut juga menjauh. Melihat ke kiri kanan, muka belakang, semua benda langit sedang menjauh. Apakah artinya?

Artinya, karena benda-benda langit itu kini sedang bergerak saling menjauhi ke segala arah, maka mestinya dulu, benda benda itu saling dekat. Lebih dulu lagi, benda-benda itu semakin dekat. Dan pada suatu ketika, miliaran tahun yang lalu, semua benda langit tersebut berkumpul di suatu titik yang sama, alias padu dan berimpit. Persis seperti yang dikatakan Al Quran.
Nah, dari hipotesa itulah, disusun sebuah teori yang disebut teori ‘Big Bang’. Teori itu mengatakan bahwa seluruh material dan energi alam semesta ini dulunya termampatkan ke dalam suatu ‘Titik’ di pusat alam semesta. Demikian Pula ruang dan waktu, semuanya dikompres ke dalam sebuah ‘Titik’ yang menjadi cikal bakal alam semesta, yang disebut sebagai Sop Kosmos.

Sop Kosmos itu, sangat tidak stabil karena mengandung energi, material, ruang, dan waktu yang demikian besarnya, sehingga akhimya meledak dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Ledakan itu telah melontarkan material, energi, ruang dan waktu ke segala penjuru alam semesta hingga kini. Usianya sudah mencapai sekitar 12 miliar tahun.

Dalam kurun waktu sekitar 12 miliar tahun itulah tercipta benda benda langit secara berangsur-angsur. Mulai dari gugusan bintang bintang, matahari, planet-planet, dan bulan. Termasuk Bumi yang kita huni ini. Dipekirakan usia Bumi kita sekitar 5 miliar tahun.

Dan kemudian, di bumi yang semakin mendingin itu diciptakanlah kehidupan lewat sebuah proses evolusi kehidupan dari makhluk yang berderajat rendah satu sel sampai yang berderajat tinggi seperti manusia. Kehidupan pertama, oleh Allah dimulai dari perairan dari jenis ikan-ikanan, yang kemudian beralih ke daratan lewat proses kehidupan ampibi dan jenis hewan reptilia.

QS. Al Anbiyaa : 30
“…dan Kami jadikan dari air (permulaan) semua makhluk bidup …”

Sedangkan kehidupan manusia modern diperkirakan baru sekitar 50 ribu tahun yang lalu, berdasarkan fosil Cro Magnon yang ditemukan di daerah Timur Tengah. Fosil-fosil manusia modem inilah yang diperkirakan sejaman dengan kehidupan Nabi Adam As.

Kalau hipotesa ini memang benar, maka berarti usia kehidupan manusia ini dibandingakn dengan usia alam semesta sangatlah sebentar. Usia alam semesta sudah sekitar 12 miliar tahun, sedangkan usia peradaban manusia baru sekitar 50 ribu tahun.

Nah, jadi kembali kepada kata kunci yang pertama dalam QS. Ali Imran 190-191, kita kini memahami betapa dahsyat informasi yang terkandung dalam kalimat: “...inna fii khalqis samaawaati wal ardli...”

Rasulullah saw bisa memahami makna kalimat tersebut tanpa harus belajar ilmu Astronomi. Kenapa bisa demikian? Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. yang pertama, setiap kali Allah menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad, Allah langsung memasukkan makna wahyu itu ke dalam kalbu beliau. Wahyu tidak turun ke nabi melalui otak beliau, melainkan langsung ke dalam hati. Jadi, seperti ada sebuah tayangan video yang diputar di hadapan beliau, sehingga beliau langsung bisa memahami seluruh makna wahyu itu. yang kedua, harus diingat bahwa wahyu tersebut turun kepada Rasulullah pada periode Madinah. Artinya, Rasulullah sudah mengalami perjalanan Isra' Mi'raj. Jadi beliau telah mengalami sendiri perjalanan mengarungi jagad semesta. Maka, ketika menerima wahyu tersebut beliau bagaikan sedang 'bernostalgia' melakukan perjalanan Isra' Mi'raj. Sungguh tergambar secara nyata makna dari firman Allah tentang penciptaan langit dan bumi.

Maka tidak heranlah kita, Rasulullah tak mampu membendung air matanya ketika menerima wahyu tersebut. Gemetar seluruh jiwa raganya mengingat Kebesaran Allah di alam semesta. Dirinya menjadi begitu kecil dan tak berarti di hadapan Allah, Dzat Sang Maha Perkasa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar